Hikayat kepenulisanku dengan bumbu hiperbola
Cerita ini dimulai dari awal mula aku
ketagihan membaca, akar yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan menulisku.
Kelas 5 sd seingatku, saat aku berumur 9 menuju 10 aku diberi hadiah buku
bacaan ringan yang memang khusus untuk usia anak-anak menuju remaja. Saat pertama
kali membaca buku itu, mataku tak henti-hentinya menatap lembaran demi lembaran buku. Bola mataku
terus bergerak dari arah kiri ke kanan, mengikuti tiap bait kalimat. Hingga aku
mampu menamatkannya dengan khidmat di beberapa sudut ruangan rumah dalam kurun waktu
beberapa hari.
Isi ceritanya tentang persahabatan, sangat
pas untuk anak seusiaku waktu itu. Dari situ aku belajar banyak, tentang
toleransi, porsi adil, serta kasih sayang. Kemudian aku menjadi sangat yakin, kehadiran
buku itu masa remajaku seperti munculnya oase di gurun pasir yang gersang.
Tentunya jadi pertanda baik.
Tak puas baca sekali habis, buku itu ku
baca lagi untuk kali kedua, ketiga, dan seterusnya. Aku mendadak jadi anak yang
haus bacaan, tetapi tidak menemukan penawarnya. Tersebab tidak ada perpustakaan
yang dapat ku jangkau di sekitarku. Hingga pada akhirnya aku dibelikan buku
lagi. KKPK kalau kalian tahu. Sangat cocok dengan usiaku.
Di kesempatan selanjutnya, saat umurku
bertambah, variasi bacaanku mulai upgrade. Aku juga dibelikan koleksi
bacaan dari penulis yang namanya sudah sangat mentereng. Buku-buku karya Tere
Liye dan Andrea Hirata tak dinyana turut menghiasi rak bukuku. Koleksi bacaanku
tidak bisa dikatakan banyak, tapi cukup lumayan untuk ukuranku yang tak pernah
beli sendiri. Asal kalian tahu, koleksiku hanya akan bertambah jika kakakku
dengan baik hati mendermakan uangnya untuk membelikanku buku baru.
Saat itu, aku menyadari tak ada yang bisa
melepas dahagaku kecuali buku, buku karya sastra khususnya ku lahap habis jika isinya
sangat ku suka, karena jujur, aku tak punya minat untuk membaca buku pelajaran
maupun ensiklopedia yang serius, walaupun beberapa kali kepincut buku sejarah
juga.
Kegiatan ini berlanjut hingga SMP dan SMA,
aku jadi pribadi yang lumayan gemar membaca, karena kalau dipanggil kutu buku
rasanya kurang cocok disematkan untukku. Banyak karya sastra di masa SMA yang
berhasil ku baca, semua berkat perpustakaan sekolah. Di antara buku-buku yang
ku baca ada Benturan NU-PKI, Sastra Jendra Hayuningrat, Origin, Cantik Itu
Luka, dan lainnya.
Aku menikmatinya, bergumul berdua dengan
buku sangatlah asik. Hingga kemudian aku ingin mencoba hal baru. Menulis. Aku
ingin menciptakan karyaku sendiri. Karya orisinil yang lahir dari pikiranku
yang terkadang berisik.
Aku ikut lomba menulis cerpen di SMA, ya,
itu percobaan pertamaku. Nahas, cerpen petualanganku kalah telak oleh cerita pernikahan
Gus dan Ning. Tapi tak mengapa, sebagai pemula aku masih perlu banyak belajar
dan harus pantang menyerah.
Gebrakan selanjutnya aku memutuskan
untuk membuat blog di Kompasiana pada tahun 2022. Isinya kalau diingat-ingat,
haduh, agak memalukan. 99,99% berisi puisi percintaan yang gagal. Mungkin bisa
sedikit dipahami, karena saat itu bertepatan dengan kondisi emosi seorang
remaja beranjak dewasa yang kurang stabil, hehehe. Ku putuskan untuk
menghapusnya, karena seperti yang kita tahu, jejak digital itu seram sekali,
Boi. Bisa malu tujuh turunan aku kalau ketahuan bikin begituan.
Selain menulis puisi gagal cinta, aku juga mulai mencoba
peruntunganku dalam beberapa lomba menulis(bukan ilmiah) di berbagai platform.
Contohnya
Mojok. Beberapa kali Ia mengadakan lomba menulis, beberapa kali itu pula
tulisanku ditolak mentah-mentah oleh pihak Mojok. Aku juga mencoba peruntungan
lain, mendaftar sebagai kontributor penulis di dua platform, dua platform
juga tak segan-segan menolakku. Tragis.
Muak dengan kegagalan menulis dan blog yang
berisi puisi gagal cinta, tahun 2023 aku pindah haluan membuat Medium. Alasan memilih Medium sangat sepele, karena lelaki yang dulu ku suka
menggunakannya(alasan yang kekanak-kanakan, bukan?). Maka, Medium lah saksi
bisu bahwa aku belum move on di masa itu. Tapi, melalui Ia harusnya aku juga
berterimakasih, akhirnya aku bisa bercerita dan menulis sesuatu yang sedikit bermanfaat
di sana.
Di tahun 2023 aku juga mendaftar sebagai kontributor
penulis di website UNY Community (UC). Komunitas yang apa adanya menerima diriku
dan kekuranganku. Tak segan membantuku berproses dan tumbuh kembang dalam hal
kepenulisan(alay banget, dah kayak cerita-cerita karangan CEO yang mulai dari
nol). Di UC aku benar-benar belajar secara mandiri tentang bagaimana cara membuat
tulisan yang sedap untuk dibaca, entah ke depannya hal ini berpengaruh pada
tulisanku atau tidak.
Dengan dua platform itu, aku jadi
punya alasan untuk menulis. Walaupun kadang-kadang ada titik lelah dan jenuh
serta hiatus yang amat sangat lama, setidaknya, aku selalu mencari inspirasi
untuk ditulis, entah itu akan menghasilkan cerpen, artikel ringan, maupun review
buku. Namun, seiring berjalannya waktu, Mediumku menjadi sangat berserakan. Campur
mencampur menjadi satu. Hari ini bercerita tentang pengalaman, esoknya
tiba-tiba puisi kasmaran, esoknya lagi review buku.
Sebagai yang berwenang, sudah sepantasnya
aku melakukan gerakan perubahan. Mengusung ide pengelompokan dan kategorisasi
tulisan. Seperti yang saudara-saudara sekalian lihat, aku membuat wadah baru.
Entah akan ku isi oleh apa, kalian juga akan mengetahuinya, cepat atau lambat.
Semoga dengan hadirnya aku serta tulisanku di sini menjadi angin segar bagi
saudara-saudara sekalian yang mencari waktu luang dengan scrolling layar
gawai.
Akhir kata, menulis adalah bagian dari
diriku. Melalui menulis aku menjadi hidup dan terkoneksi dengan sekitar. Meskipun
belum menjadi penulis yang mentereng namanya, untuk memulai lagi sebuah perjalanan
ini, tetap sah-sah saja, bukan? Salam.
0 Response to "Hikayat kepenulisanku dengan bumbu hiperbola"
Posting Komentar