Hot Posts

4/footer/recent

Comments

4/comments/show

Mengapa Dipanggil Dengan Sebutan “Gus”? Sebuah Refleksi Diri dan Tanggung Jawab

 

Pesantren Tebuireng, Salah satu pesantren tertua di Jawa yang menggunakan panggilan Gus kepada putra kiai (commons.wikimedia.org/@AnnisaAlwita)

Pesantren sebagai pendidikan tertua di Indonesia awam diketahui sebagai tempat untuk menimba ilmu dengan kajian khusus merujuk kepada ilmu keagamaan. Dalam pelaksanaannya, pesantren minimal harus memiliki empat komponen, yakni kiai, santri, masjid atau tempat kajian ilmu, dan pondok pesantren yang digunakan untuk tempat tinggal santri. Dari empat komponen tersebut, kiai memiliki peranan penting dan tanggung jawab dalam proses pentransferan ilmu.

Seorang kiai harus memiliki pengalaman belajar yang mumpuni dan sanad (sandaran keilmuan) yang jelas. Dengan begitu, seluruh ilmu yang diberikan pada proses pembelajaran sifatnya kredibel dan akuntabel. Hal ini penting karena kaitannya dengan urusan akidah dan fikih seseorang, serta sebagai jaminan dan kejelasan terkait ilmu tersebut.

Kiai Sebagai Panutan dan Suri Teladan

Mengingat tanggung jawab yang diemban oleh kiai sangat besar, maka, kompetensi yang dibutuhkan tentunya harus sesuai. Terlebih, selain sebagai tokoh pentransfer ilmu, sosok kiai juga merupakan seorang panutan bagi para santrinya, baik dari sifat, ucapan, maupun perbuatannya. Diharapkan, kiai dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi para santrinya, karena selain menjadi tempat menimba ilmu, pesantren juga dikenal sebagai tempat untuk menempa watak atau akhlak yang baik sesuai ajaran Rasulullah SAW.

Estafet Kepemimpinan dan Sebutan “Gus”

Dalam tradisi pesantren Jawa, estafet kepemimpinan kiai biasanya akan diteruskan oleh putranya yang dikenal dengan sebutan Gus. Sistem estafet kepemimpinan ini banyak sekali digunakan oleh pesantren-pesantren yang ada. Namun, tidak serta merta wajib dan harus diberlakukan oleh seluruh pesantren. Hal ini secara tidak langsung menumbuhkan kultur sosial kepada masyarakat, terlebih di sekitar pesantren bahwa seorang Gus memiliki kompetensi yang mumpuni, baik dalam aspek keilmuan maupun perilaku. Sejalan dengan tanggung jawab besar yang diwariskan kepadanya.

Namun, pada beberapa kondisi, sebutan Gus tidak hanya merujuk ke putra kiai. Sebutan Gus juga diberikan kepada seseorang yang taraf keilmuan agamanya mumpuni. Dalam kondisi ini, sebutan Gus mengarah kepada achieved status, yakni status yang diperoleh melalui usaha, bukan ascribed status yang diperoleh melalui jalur darah.

Asal-Usul dan Tantangan di Balik Sebutan “Gus”

Menariknya, sebutan Gus yang seringkali dikaitkan dengan budaya NU, tidak serta merta menjadikan panggilan tersebut juga berakar dari tradisi NU. Menelisik lebih jauh, sebutan Gus berasal dari kebiasaan orang Jawa pada zaman dahulu dalam memanggil putranya. Gus atau Agus diambil dari kata Bagus. Tidak jauh beda dengan sebutan bangsawan zaman dulu kepada putra laki-lakinya, yakni Raden Bagus.

Bagus dimaknai sebagai anak laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi, terhormat, dan mulia. Di lingkungan pesantren, panggilan ini tidak hanya menjadi sebutan biasa. Sebagai hasil adaptasi dari budaya bangasawan Jawa yang menerapkan panggilan tersebut, terdapat unsur memuliakan dan mengandung kalimat pengaharapan serta doa.

Dengan pengharapan yang begitu besar, penyematan gelar gus dapat menjadi beban bagi mereka yang taraf keilmuan atau perilakunya belum mencerminkan harapan tersebut. Dalam kondisi ini, alangkah baiknya apabila gelar gus dijadikan sebagai achieved status, yakni penyematannya hanya diberikan kepada individu yang benar-benar memiliki kualitas yang layak.

Hal ini semata-mata juga sebagai sarana untuk menghindari sebutan Gus disematkan kepada orang nir adab yang ucapannya buruk. Bukannya memberikan motivasi atau pengetahuan, yang dilakukan malah menghina dan berlaku buruk. Sungguh tidak mencerminkan suri tauladan yang baik sebagai publik figur. 

Usulan Penghapusan Gelar “Gus”

Carut marutnya konflik Gus dan Ning pada beberapa periode ini, membuat saya, sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, perlu sedikit berpendapat. Penyematan panggilan Gus, Ning, maupun yang lainnya, saya rasa tidak perlu dilestarikan lagi untuk memanggil anak kiai. Panggilan Gus maupun Ning, akan lebih pantas jika disematkan pada seseorang yang kualitasnya layak, alih-alih seorang anak kiai yang sikap maupun taraf keilmuannya masih dipertanyakan.

Bukan berarti kita menghapus tradisi Gus dan Ning dengan tidak memanggil panggilan tersebut. Alangkah baiknya mereka yang dipanggil Gus maupun Ning adalah seseorang yang memenuhi bare minimum keilmuan dan sikap yang diterapkan dalam kultur sosial pesantren. Lalu, apa panggilan yang tepat untuk mengganti sebutan Gus dan Ning di lingkup pesantren? Cukup menggunakan panggilan Mas maupun Mbak. Panggilan tersebut lebih relevan sebagai sarana untuk menghormati keturunan kiai tanpa ada tuntutan pemberian tanggung jawab yang tidak semestinya. Perubahan panggilan ini juga dapat dijadikan contoh kepada santri di lingkungan pesantren agar dapat menghormati siapapun tanpa terkecuali.

Kesimpulan

            Tanpa ada upaya untuk menghilangkan tradisi yang telah mengakar, penyematan Gus dan Ning perlu dikaji ulang. Selayaknya panggilan ini hanya diperuntukkan bagi orang dengan prestasi keilmuan maupun perilaku yang layak dan mumpuni. Hal ini untuk menghindari adanya oknum bodoh dan perilakunya buruk menjadi panutan banyak orang dan dihormati atas kelakuan buruknya dengan dalih apapun.

Zainuddin M.A. (2013, November 11). MENGENAL DUNIA PESANTREN*. Uin-Malang.ac.id. https://uin-malang.ac.id/r/131101/mengenal-dunia-pesantren.html

Zakiyah, M. (2018). Volume 3 Nomor 1 MAKNA SAPAAN DI PESANTREN: KAJIAN LINGUISTIK-ANTROPOLOGIS.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengapa Dipanggil Dengan Sebutan “Gus”? Sebuah Refleksi Diri dan Tanggung Jawab"

Posting Komentar