Mengapa Dipanggil Dengan Sebutan “Gus”? Sebuah Refleksi Diri dan Tanggung Jawab
![]() |
Pesantren Tebuireng, Salah satu pesantren tertua di Jawa yang menggunakan panggilan Gus kepada putra kiai (commons.wikimedia.org/@AnnisaAlwita) |
Pesantren sebagai pendidikan tertua di
Indonesia awam diketahui sebagai tempat untuk menimba ilmu dengan kajian khusus
merujuk kepada ilmu keagamaan. Dalam pelaksanaannya, pesantren minimal harus
memiliki empat komponen, yakni kiai, santri, masjid atau tempat kajian ilmu,
dan pondok pesantren yang digunakan untuk tempat tinggal santri. Dari empat
komponen tersebut, kiai memiliki peranan penting dan tanggung jawab dalam
proses pentransferan ilmu.
Seorang kiai harus memiliki pengalaman
belajar yang mumpuni dan sanad (sandaran keilmuan) yang jelas. Dengan begitu, seluruh
ilmu yang diberikan pada proses pembelajaran sifatnya kredibel dan akuntabel.
Hal ini penting karena kaitannya dengan urusan akidah dan fikih seseorang,
serta sebagai jaminan dan kejelasan terkait ilmu tersebut.
Kiai Sebagai Panutan dan Suri Teladan
Mengingat tanggung jawab yang diemban oleh kiai
sangat besar, maka, kompetensi yang dibutuhkan tentunya harus sesuai. Terlebih,
selain sebagai tokoh pentransfer ilmu, sosok kiai juga merupakan seorang
panutan bagi para santrinya, baik dari sifat, ucapan, maupun perbuatannya.
Diharapkan, kiai dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi para santrinya,
karena selain menjadi tempat menimba ilmu, pesantren juga dikenal sebagai
tempat untuk menempa watak atau akhlak yang baik sesuai ajaran Rasulullah SAW.
Estafet Kepemimpinan dan Sebutan “Gus”
Dalam tradisi pesantren Jawa, estafet
kepemimpinan kiai biasanya akan diteruskan oleh putranya yang dikenal dengan
sebutan Gus. Sistem estafet kepemimpinan ini banyak sekali digunakan oleh
pesantren-pesantren yang ada. Namun, tidak serta merta wajib dan harus
diberlakukan oleh seluruh pesantren. Hal ini secara tidak langsung menumbuhkan
kultur sosial kepada masyarakat, terlebih di sekitar pesantren bahwa seorang Gus
memiliki kompetensi yang mumpuni, baik dalam aspek keilmuan maupun perilaku.
Sejalan dengan tanggung jawab besar yang diwariskan kepadanya.
Namun, pada beberapa kondisi, sebutan Gus
tidak hanya merujuk ke putra kiai. Sebutan Gus juga diberikan kepada seseorang
yang taraf keilmuan agamanya mumpuni. Dalam kondisi ini, sebutan Gus mengarah
kepada achieved status, yakni status yang diperoleh
melalui usaha, bukan ascribed status yang diperoleh melalui jalur darah.
Asal-Usul dan Tantangan di Balik Sebutan “Gus”
Menariknya, sebutan Gus yang seringkali
dikaitkan dengan budaya NU, tidak serta merta menjadikan panggilan tersebut
juga berakar dari tradisi NU. Menelisik lebih jauh, sebutan Gus berasal dari
kebiasaan orang Jawa pada zaman dahulu dalam memanggil putranya. Gus atau Agus diambil
dari kata Bagus. Tidak jauh beda dengan sebutan bangsawan zaman dulu kepada
putra laki-lakinya, yakni Raden Bagus.
Bagus dimaknai sebagai anak laki-laki yang
memiliki kedudukan tinggi, terhormat, dan mulia. Di lingkungan pesantren,
panggilan ini tidak hanya menjadi sebutan biasa. Sebagai hasil adaptasi dari
budaya bangasawan Jawa yang menerapkan panggilan tersebut, terdapat unsur
memuliakan dan mengandung kalimat pengaharapan serta doa.
Dengan pengharapan yang begitu besar, penyematan
gelar gus dapat menjadi beban bagi mereka yang taraf keilmuan atau perilakunya
belum mencerminkan harapan tersebut. Dalam kondisi ini, alangkah baiknya
apabila gelar gus dijadikan sebagai achieved status, yakni penyematannya
hanya diberikan kepada individu yang benar-benar memiliki kualitas yang layak.
Hal ini semata-mata juga sebagai sarana
untuk menghindari sebutan Gus disematkan kepada orang nir adab yang ucapannya
buruk. Bukannya memberikan motivasi atau pengetahuan, yang dilakukan malah
menghina dan berlaku buruk. Sungguh tidak mencerminkan suri tauladan yang baik
sebagai publik figur.
Usulan Penghapusan Gelar “Gus”
Carut marutnya konflik Gus dan Ning pada beberapa
periode ini, membuat saya, sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan di
pesantren, perlu sedikit berpendapat. Penyematan panggilan Gus, Ning, maupun
yang lainnya, saya rasa tidak perlu dilestarikan lagi untuk memanggil anak kiai.
Panggilan Gus maupun Ning, akan lebih pantas jika disematkan pada seseorang
yang kualitasnya layak, alih-alih seorang anak kiai yang sikap maupun taraf
keilmuannya masih dipertanyakan.
Bukan berarti kita menghapus tradisi Gus
dan Ning dengan tidak memanggil panggilan tersebut. Alangkah baiknya mereka yang
dipanggil Gus maupun Ning adalah seseorang yang memenuhi bare minimum keilmuan
dan sikap yang diterapkan dalam kultur sosial pesantren. Lalu, apa panggilan
yang tepat untuk mengganti sebutan Gus dan Ning di lingkup pesantren? Cukup menggunakan
panggilan Mas maupun Mbak. Panggilan tersebut lebih relevan sebagai sarana
untuk menghormati keturunan kiai tanpa ada tuntutan pemberian tanggung jawab
yang tidak semestinya. Perubahan panggilan ini juga dapat dijadikan contoh
kepada santri di lingkungan pesantren agar dapat menghormati siapapun tanpa
terkecuali.
Kesimpulan
Tanpa
ada upaya untuk menghilangkan tradisi yang telah mengakar, penyematan Gus dan
Ning perlu dikaji ulang. Selayaknya panggilan ini hanya diperuntukkan bagi
orang dengan prestasi keilmuan maupun perilaku yang layak dan mumpuni. Hal ini
untuk menghindari adanya oknum bodoh dan perilakunya buruk menjadi panutan
banyak orang dan dihormati atas kelakuan buruknya dengan dalih apapun.
Zainuddin M.A. (2013, November 11). MENGENAL
DUNIA PESANTREN*. Uin-Malang.ac.id. https://uin-malang.ac.id/r/131101/mengenal-dunia-pesantren.html
Zakiyah, M. (2018). Volume 3 Nomor 1
MAKNA SAPAAN DI PESANTREN: KAJIAN LINGUISTIK-ANTROPOLOGIS.
0 Response to "Mengapa Dipanggil Dengan Sebutan “Gus”? Sebuah Refleksi Diri dan Tanggung Jawab"
Posting Komentar