Hot Posts

4/footer/recent

Comments

4/comments/show

Menggali Potensi Diri sebagai Wujud Pertanggungjawaban terhadap Dzat Pencipta

 

Mega merah di Buleleng pada pertengahan bulan Juli.

Saya sedang asyik memasak setelah kembali dari perpustakaan kampus untuk meminjam buku. Rasa lapar dan dahaga tak terbendung. Hasrat untuk makan sudah meronta-ronta, tetapi apa daya, tidak ada yang bisa kumakan kecuali nasi yang kebetulan tadi pagi kumasak. Tentunya ia butuh pendamping untuk disantap. Ya, aku tidak memiliki persediaan lauk siap makan. Hanya ada telur, kubis, dan tempe di kulkas.

Alhasil, aku memutuskan untuk memasak, alih-alih membeli lauk di depan kos yang tentunya merupakan solusi paling cepat untuk mengisi lambungku. Sedikit repot, tetapi tidak apa, aku memutuskan untuk menumis karena prosesnya lebih cepat. Memasak seadanya dengan persediaan bumbu yang seadanya juga. Sat-set, tak memakan banyak waktu.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, di sela-sela memotong kubis, tiba-tiba saya kepikiran (untuk tidak dikatakan termenung), kenapa saya sukarela dan begitu senang saat memasak? Apa yang membuat saya memilih untuk memasak daripada membeli? (Selain faktor manajemen uang tentunya, wkwk.)

Setelah saya telaah lagi, ternyata memasak adalah minat dan bakat saya (berdasarkan antusiasme saya terhadap proses memasak dan hasilnya). Lalu, terbesit lagi dalam pikiran saya “beruntung sekali bagi seseorang yang telah menemukan minat dan bakatnya”.

Mungkin beberapa dari Anda akan setuju dengan pernyataan ini. Saya sendiri tahu bahwa minat dan bakat sangat sulit untuk ditemukan, bahkan bagi si pemilik tubuh itu sendiri. Sering kali, kita perlu mencoba berbagai hal terlebih dahulu untuk menyadari apakah itu bakat atau sekadar ketertarikan sementara. Tentunya bermula dari minat atau ketertarikan kita pada suatu hal yang kita lihat untuk kemudian dieksplorasi dan dipelajari. Dari minat tersebut, apabila diasah dengan tepat, akan berkembang menjadi keterampilan. Atau paling tidak akan menjadi pengalaman baru saja. Poinnya, kita tetap akan mendapatkan sisi positif dari eksplorasi tersebut. Namun, menyadari bahwa ditemukannya potensi dari proses eksplorasi tidaklah selalu mudah dan usaha untuk menemukannya acap kali membutuhkan ketekunan dan kesabaran yang berlapis-lapis.

Mengapa perlu ditekuni? Usaha menggali potensi diri adalah kewajiban setiap individu, karena menggali potensi adalah suatu wujud pertanggungjawaban sebagai hamba Tuhan. Menggali potensi diri, kalau dilihat dari kacamata Islam, memiliki korelasi dengan usaha untuk mendapatkan predikat muslim yang kuat. Mungkin saya perlu mengingatkan kembali hadis yang menerangkan bahwa Allah lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bunyi hadisnya yakni sebagai berikut,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ ..... (رواه مسلم)

Kita tahu bahwa makna kuat dan lemah dalam hadis tersebut sangat luas cakupannya, baik dari segi iman maupun ibadahnya, termasuk juga urusan dunia maupun akhiratnya. Harus ada ambisi dalam menjalankan kehidupan dan meraih hal yang memberikan kontribusi positif bagi diri (tentu saja dengan niat ibadah).

Namun, realitanya banyak orang yang belum menemukan bakatnya, bahkan, sekadar untuk mengetahui minatnya saja ia belum tahu. Beberapa kali saya temui kasus seperti ini pada mereka yang tidak memiliki ambisi dan semangat dalam menjalankan hidup. Atau mereka memang tipe orang yang menjalankan kehidupan sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka merasa, semua yang telah dan akan terjadi di dunia ini telah diatur oleh Tuhan dan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak memiliki kuasa atau intervensi dalam penentuan takdir (qada dan qadar-Nya).

Persepsi ini sangat jauh dari pengertian tawakal seutuhnya. Tawakal, yang berarti berserah diri kepada Tuhan, tetap mengharuskan adanya usaha di dalam prosesnya. Dengan kata lain, usaha merupakan suatu proses utama untuk mencapai tujuan, dan tawakal adalah pelengkap yang wajib dan tidak bisa ditinggalkan dalam sebuah usaha. Sebuah hierarki proses yang mutlak. Karena jika kita hanya berserah diri kepada Tuhan, bukankah naif kalau kita menyebutnya tawakal? Akan lebih masuk akal jika disebut dengan pemalas yang tidak tahu makna tawakal.

Dengan bukti-bukti yang saya uraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa usaha untuk menggali potensi diri merupakan hal krusial yang perlu diupayakan terus-menerus untuk mencapai kesejahteraan. Apabila kita telah mencapai kesejahteraan (dengan tetap memperhatikan tolok ukur syukur dan merasa cukup), kewajiban kita sebagai hamba salah satunya telah tercapai, yakni sebagai mukmin yang kuat (dalam beberapa hal).

Maka, sebuah usaha untuk mengetahui potensi diri adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai hamba. Lalu, bagaimana cara untuk menempuhnya? Terus bergerak dan mengeksplorasi. Jangan hanya nyaman dan terlena dengan berdiam diri. Bergeraklah dan eksplorasi hal-hal yang dirasa memiliki nilai positif di dalamnya. Jika kita hanya diam menunggu keberuntungan, kecil kemungkinan bagi kita untuk menemukan passion dan minat diri sendiri, dan di samping itu, kesempatan kita untuk memperoleh berkah atau menjadi pribadi yang bermanfaat menjadi semakin sempit.

Jadi, dalam menghadapi getirnya hidup ini, kita perlu rasa di dalamnya. Dan untuk membubuhkan rasa-rasa itu, tentu jawabannya bukanlah dengan berdiam diri menunggu, melainkan terus mencoba dan bergerak untuk mengeksplorasi (ambisius), karena keberkahan berada dalam setiap langkah kita. Wallahu a'lam.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menggali Potensi Diri sebagai Wujud Pertanggungjawaban terhadap Dzat Pencipta"

Posting Komentar