Menggali Potensi Diri sebagai Wujud Pertanggungjawaban terhadap Dzat Pencipta
![]() |
Mega merah di Buleleng pada pertengahan bulan Juli. |
Saya sedang asyik memasak setelah kembali dari perpustakaan kampus
untuk meminjam buku. Rasa lapar dan dahaga tak terbendung. Hasrat untuk makan
sudah meronta-ronta, tetapi apa daya, tidak ada yang bisa kumakan kecuali nasi
yang kebetulan tadi pagi kumasak. Tentunya ia butuh pendamping untuk disantap.
Ya, aku tidak memiliki persediaan lauk siap makan. Hanya ada telur, kubis, dan
tempe di kulkas.
Alhasil, aku memutuskan untuk memasak, alih-alih membeli lauk di
depan kos yang tentunya merupakan solusi paling cepat untuk mengisi lambungku.
Sedikit repot, tetapi tidak apa, aku memutuskan untuk menumis karena prosesnya
lebih cepat. Memasak seadanya dengan persediaan bumbu yang seadanya juga.
Sat-set, tak memakan banyak waktu.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, di sela-sela memotong kubis,
tiba-tiba saya kepikiran (untuk tidak dikatakan termenung), kenapa saya
sukarela dan begitu senang saat memasak? Apa yang membuat saya memilih untuk
memasak daripada membeli? (Selain faktor manajemen uang tentunya, wkwk.)
Setelah saya telaah lagi, ternyata memasak adalah minat dan bakat
saya (berdasarkan antusiasme saya terhadap proses memasak dan hasilnya). Lalu,
terbesit lagi dalam pikiran saya “beruntung sekali bagi seseorang yang telah
menemukan minat dan bakatnya”.
Mungkin beberapa dari Anda akan setuju dengan pernyataan ini. Saya
sendiri tahu bahwa minat dan bakat sangat sulit untuk ditemukan, bahkan bagi si
pemilik tubuh itu sendiri. Sering kali, kita perlu mencoba berbagai hal
terlebih dahulu untuk menyadari apakah itu bakat atau sekadar ketertarikan
sementara. Tentunya bermula dari minat atau ketertarikan kita pada suatu hal
yang kita lihat untuk kemudian dieksplorasi dan dipelajari. Dari minat
tersebut, apabila diasah dengan tepat, akan berkembang menjadi keterampilan.
Atau paling tidak akan menjadi pengalaman baru saja. Poinnya, kita tetap akan mendapatkan
sisi positif dari eksplorasi tersebut. Namun, menyadari bahwa ditemukannya
potensi dari proses eksplorasi tidaklah selalu mudah dan usaha untuk
menemukannya acap kali membutuhkan ketekunan dan kesabaran yang berlapis-lapis.
Mengapa perlu ditekuni? Usaha menggali potensi diri adalah
kewajiban setiap individu, karena menggali potensi adalah suatu wujud
pertanggungjawaban sebagai hamba Tuhan. Menggali potensi diri, kalau dilihat
dari kacamata Islam, memiliki korelasi dengan usaha untuk mendapatkan predikat
muslim yang kuat. Mungkin saya perlu mengingatkan kembali hadis yang
menerangkan bahwa Allah lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang
lemah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bunyi hadisnya yakni sebagai berikut,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ ..... (رواه
مسلم)
Kita tahu bahwa makna kuat dan lemah dalam hadis tersebut sangat
luas cakupannya, baik dari segi iman maupun ibadahnya, termasuk juga urusan
dunia maupun akhiratnya. Harus ada ambisi dalam menjalankan kehidupan dan
meraih hal yang memberikan kontribusi positif bagi diri (tentu saja dengan niat
ibadah).
Namun, realitanya banyak orang yang belum menemukan bakatnya,
bahkan, sekadar untuk mengetahui minatnya saja ia belum tahu. Beberapa kali
saya temui kasus seperti ini pada mereka yang tidak memiliki ambisi dan
semangat dalam menjalankan hidup. Atau mereka memang tipe orang yang
menjalankan kehidupan sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka merasa, semua yang
telah dan akan terjadi di dunia ini telah diatur oleh Tuhan dan kita sebagai
makhluk ciptaan-Nya tidak memiliki kuasa atau intervensi dalam penentuan takdir
(qada dan qadar-Nya).
Persepsi ini sangat jauh dari pengertian tawakal seutuhnya.
Tawakal, yang berarti berserah diri kepada Tuhan, tetap mengharuskan adanya
usaha di dalam prosesnya. Dengan kata lain, usaha merupakan suatu proses utama
untuk mencapai tujuan, dan tawakal adalah pelengkap yang wajib dan tidak bisa
ditinggalkan dalam sebuah usaha. Sebuah hierarki proses yang mutlak. Karena
jika kita hanya berserah diri kepada Tuhan, bukankah naif kalau kita
menyebutnya tawakal? Akan lebih masuk akal jika disebut dengan pemalas yang
tidak tahu makna tawakal.
Dengan bukti-bukti yang saya uraikan di atas, dapat disimpulkan
bahwa usaha untuk menggali potensi diri merupakan hal krusial yang perlu
diupayakan terus-menerus untuk mencapai kesejahteraan. Apabila kita telah
mencapai kesejahteraan (dengan tetap memperhatikan tolok ukur syukur dan merasa
cukup), kewajiban kita sebagai hamba salah satunya telah tercapai, yakni
sebagai mukmin yang kuat (dalam beberapa hal).
Maka, sebuah usaha untuk mengetahui potensi diri adalah tanggung
jawab yang harus dipenuhi sebagai hamba. Lalu, bagaimana cara untuk menempuhnya?
Terus bergerak dan mengeksplorasi. Jangan hanya nyaman dan terlena dengan
berdiam diri. Bergeraklah dan eksplorasi hal-hal yang dirasa memiliki nilai
positif di dalamnya. Jika kita hanya diam menunggu keberuntungan, kecil
kemungkinan bagi kita untuk menemukan passion dan minat diri sendiri, dan di
samping itu, kesempatan kita untuk memperoleh berkah atau menjadi pribadi yang
bermanfaat menjadi semakin sempit.
Jadi, dalam menghadapi getirnya hidup ini, kita perlu rasa di dalamnya. Dan untuk membubuhkan rasa-rasa itu, tentu jawabannya bukanlah dengan berdiam diri menunggu, melainkan terus mencoba dan bergerak untuk mengeksplorasi (ambisius), karena keberkahan berada dalam setiap langkah kita. Wallahu a'lam.
0 Response to "Menggali Potensi Diri sebagai Wujud Pertanggungjawaban terhadap Dzat Pencipta"
Posting Komentar