Perlukah Nilai Etika dalam Berbusana?
![]() |
Beberapa waktu lalu, di media sosial heboh perihal busana kuliah seorang mahasiswa. Kejadian heboh ini berawal dari cuitan seorang mahasiswa yang mengenakan lingerie atau baju tidur yang memperlihatkan tali behanya sebagai salah satu mix n match OOTD yang ia kenakan di kampus. Kabar-kabarnya, seorang mahasiswa tersebut merupakan salah satu mahasiswa kampus seni ternama di pulau Jawa.
Dengan menggunakan caption “you
only live once guys, pakai lingerie mu ke kampus”, unggahan tersebut
berhasil menyulut amarah dan debat para netizen twitter. Kalimat yang digunakan
oleh perempuan tersebut merupakan kalimat persuasif. Secara tidak langsung,
kalimat tersebut merupakan sebuah kalimat ajakan yang ditujukan bagi para
mahasiswa di luaran sana untuk meniru gaya berbusana memakai lingerie di
dalam kampus.
Perdebatan mengenai sopan santun dan etika
berbusana dalam lingkup akademik terjadi sangat panas. Ada yang mengatakan
bahwa gaya berbusana semacam itu dalam kampus, terutama saat melakukan perkuliahan
adalah perilaku sangat tidak etis dan nir adab. Pasalnya, kampus merupakan
tempat untuk menimba ilmu, sedangkan busana yang dikenakan tidak mencerminkan
seseorang yang menghormati ilmu.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa
berbusana seperti itu, tentunya hanya dilakukan oleh mahasiswa dari kampus
tidak terkenal yang bentuk bangunan kampusya seperti ruko. Nyatanya, mahasiswa
yang sedang heboh itu berasal dari salah satu kampus seni yang cukup terkenal
pamornya.
Pernyataan itu tentunya memantik keributan.
Banyak yang membalas tweet tersebut dengan foto-foto mahasiswa dengan gaya
berbusana terbuka memperlihatkan pusar dan tidak lupa mencantumkan nama kampusnya
yang terbilang terkenal serta fakultasnya.
Mereka menganggap, gaya berbusana tersebut
sangatlah awam untuk ukuran kampus seni ataupun fakultas-fakultas “liberal”. Komposisi
warna dan bahan yang biasa-biasa saja bukanlah jati diri anak seni. Harus ada
gebrakan anti mainstream yang menggairahkan semangat beraktivitas, salah
satunya yakni melalui busana.
Dengan memakai busana terbuka, mereka juga
menganggap apa yang dikenakan mereka merupakan hal yang sah dan benar-benar
saja. Hal ini mereka perkuat dengan sikap tak acuh dosen maupun petinggi
fakultas. Banyaknya civitas akademika kampus yang tak menegurnya menjadi “surat
izin legal” pemakaian busana yang seperti itu. Padahal, diamnya para akademisi
akan hal itu bukan berarti sah-sah saja. Ayolah teman-teman, kita sudah dewasa,
sudah berkuliah berarti sudah bisa melihat mana yang pantas dan mana yang tidak,
serta mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau berbicara tentang hal yang baik dan
buruk, kita menyinggung tentang suatu nilai yang bernama etika. Dikatakan bernilai
atau beretika di sini apabila suatu hal yang dilakukan atau dikenakan lazim ditemui
di lingkungan kehidupan manusia berdasarkan norma atau peraturan yang dibuat
manusia yang menghuni lingkungan tersebut. Dengan kata lain, norma dan
peraturan itu ada berdasarkan hasil dari konsensus bersama dengan
berlandaskan kepentingan bersama.
Apalagi kalau mereka berbicara bahwa busana
seperti itu adalah fashion yang tidak bisa disalahkan dan alasan lain seperti menjadi
mahasiswa harus melek fashion terkini, tidak hanya pintar dalam hal akademik
saja (harus imbang katanya). Parahnya lagi kalau mereka menyebut dirinya dengan
kata fashionista. Bung, seorang yang paham akan fashion tentunya akan mengerti
di mana saatnya busana tersebut halal dikenakan atau haram dikenakan. Dengan
mengenakan baju tidur atau lingerie ke kampus, membuat pemakai
menjadi terlihat tidak tahu tempat dan terkesan merendahkan kapasitas nilai-nilai tentang beretika.
Selain itu, hal lain yang perlu disoroti yakni
penggunaan lingerie-nya. Kali ini lebih mengarah ke nilai logikanya (benar dan
salahnya). Kita tahu, komposisi bahan untuk baju tidur berbeda dengan baju
sehari-hari. Ia dibuat dengan bahan-bahan yang memang dikhususkan untuk di
dalam ruangan dan tidak cocok dikenakan untuk beraktivitas di luar. Bayangkan,
baju berbahan satin ataupun microfiber digunakan di luar ruangan. Beraktivitas seharian
penuh dengan menggunakan baju tersebut, kira-kira apa tidak mudah mengundang
bakteri dan kotoran-kotoran?
Kemudian, kalau lingerie itu sudah sampai
rumah (atau kos). Lingerie dicuci dan digunakan untuk tidur besoknya.
Berulang-ulang hingga kuman dan bakteri sudah mandarah daging di baju tidur
tersebut. Tentunya menimbulkan ketidaknyamanan untuk tidur. Atau parahnya, saat lingerie
itu telah sampai di rumah, ia hanya berakhir di gantungan baju. Teronggok berhari-hari,
sehingga kuman dan bakterinya akrab dengan baju di sampingnya. Akrab denganmu sebagai
pemilik kamar itu juga.
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat
mengenai standar berpakaian. Berpakaian yang sopan yakni berpakaian yang pantas
dilihat dan sesuai dengan situasi serta kondisi. Pasalnya, cuitan yang trending
di twitter tersebut apabila tidak dibarengi dengan caption yang
kontroversial, maka, banyak sekali netizen yang tidak sadar dengan outfit yang
dikenakan oleh mahasiswa tersebut, bahwa busana itu adalah lingerie. Kalau menurut
hemat saya, si pengirim tweet tersebut sengaja mengunggah postingan dengan caption
kontroversialnya supaya ramai dan mendapatkan kepuasan pribadi (apalagi yang
didapat selain hujatan kalau bukan kepuasan pribadi?).
Akan tetapi, balik lagi, kita tetap harus kembali
ke aturan nilai. Sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, nilai etika muncul melalui
proses kesepakatan bersama para individu. Hal tersebut tentunya ditujukan untuk
mencapai tujuan bersama yang diinginkan dan tentunya bersifat maslahah atau kesejahteraan
bersama. Jadi, berbusana bukan hanya perihal estetika, kesenian, maupun kebebasan,
lebih dari itu, berbusana adalah bagaimana menginterpretasikan diri kita di manapun
kita berada dan di segala kondisi maupun situasi.
Ingat, kalau apa yang kau kenakan sudah kau
anggap benar dan baik, tapi bagi nilai dan norma yang berlaku justru sebaliknya.
Mbok yo jangan ngeyel. Sudah tahu salah kok masih cari pembelaan.
0 Response to "Perlukah Nilai Etika dalam Berbusana?"
Posting Komentar